Wahid Hasyim, Salah Satu Tokoh Pesantren di Indonesia
“Setiap manusia adalah anak dari jerih payahnya. Semakin keras dia berusaha, semakin pantas ia jaya. Cita-cita yang tinggi dapat mengangkatnya ke derajat yang tinggi. Semakin keras berkemauan, semakin terang derajat itu. Tak ada langkah mundur bagi orang yang ingin maju. Tak ada kemajuan bagi orang yang menghendaki kemunduran.” – KH. Abdul Wahid Hasyim
Ungkapan KH. Abdul Wahid Hasyim atau lebih akrab dipanggil Gus Wahid itu dirasakan oleh dirinya saat berusaha keras membawa inovasi pada pola pengajaran pesantren di Indonesia. Ia ingin santri memiliki pengetahuan umum, sehingga mampu menjadi ahli agama yang dapat bersaing secara global. Berbagai pertentangan datang, termasuk dari sang ayah K.H. Hasyim Asyari, soal ide dan pola pengajaran Gus Wahid di pesantren.
Pada saat itu memang pelajaran umum masih dianggap asing bagi kalangan pesantren karena dianggap identik dengan penjajah. Rasa benci pada penjajah membuat pesantren melarang hal-hal yang identik dengan penjajah, mulai dari penggunaan pantalon, dasi, dan topi, hingga pengetahuan umum.
Cerita usaha Gus Wahid dalam memperjuangkan idenya dimulai dari masa kecilnya yang besar di Pesantren Tebuireng, Jombang. Anak kelima dari pasangan K.H. Hasyim Asyari (pendiri NU) dan Nyai Nafiqah ini dari kecil dikenal sebagai anak yang pintar. Ia tidak pernah merasakan bangku sekolah pemerintah Hindia-Belanda dan banyak balajar segala sesuatunya secara otodidak serta dibimbing oleh sang ayah. Setelah sebelumnya ia pernah mencoba belajar di dua pesantren, diantaranya Pesantren Siwalan (1927) keluar dalam hitungan bulan dan dipindahkan ke pesantren Lirboyo keluar dalam hitungan hari.
Meski begitu, Gus Wahid kecil merupakan anak yang tekun juga pandai. Kemampuan otodidak yang didukung kecerdasannya juga membawa Pria kelahiran Jombang 1 Juni 1914 ini berhasil khatam Al-Quran di usia 7 tahun dan dua tahun kemudian ia berhasil menjadi asisten pribadi ayahnya.
Pada usianya yang ke-13, Gus Wahid bahkan telah mengajar anak seusianya bahkan beberapa diantaranya usianya diatas dirinya. Ia juga berhasil mengenal huruf latin serta menguasai bahasa Inggris dan Belanda dengan belajar secara mandiri dari majalah yang didapatnya dari dalam negeri atau kiriman luar negeri. Awal menginjak dewasa, ia pergi ke Mekkah selama dua tahun untuk menunaikan rukun islam kelima dan memperdalam ilmu agama bersama sepupunya, Muhammad Ilyas. Hal itu juga yang membuat dirinya terampil dalam berbahasa Arab, menambah sosok Gus Wahid nampak semakin intelektual.
Sepulang dari Mekkah, Gus Wahid merombak sistem ajar di Pesantren Tebuireng binaan ayahnya. Dimulai dengan membangun perpustakaan, ia berharap para santri dapat menyerap ilmu tambahan dan mengembangkan pemikirannya menghadapi tuntutan perkembangan zaman. Ia ingin ada peningkatan kualitas para santri, sebab ia tidak ingin santri dianggap berkedudukan rendah di mata masyarakat.
Perubahan pola ajar menjadi pendidikan yang lebih aktif dan merubah sistem santri yang awalnya pasif dan hanya terfokus pada guru, berubah menjadi pengajaran yang lebih interaktif.
Tidak lama dari ini, atas gagasan Gus Wahid Madrasah Nizamiyah yang memadukan ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum berhasil didirikan. Di sini selain keterampilan berbahasa seperti Arab, Inggris, dan Belanda, para Santri juda diajarkan mengetik sebagai hal yang langka saat itu. Meski sempat menuai kritik tajam soal pola pendidikan di Nizamiyah, akhirnya ia bisa membuktikan bahwa sekolah ini memiliki manfaat lebih.
Menginjak usia 25 tahun, pada 13 Desember 1937 Gus Wahid menikah dengan Nyai Solichah dan dikaruniai enam orang anak Abdurrahman Ad-Dakhil (Gus Dur), Asiyah Hamid, Salahuddin Al-Ayyubi (Gus Solah), Umar Wahid, Lily Chodidjah Wahid, Hasyim Wahid (Gus Lim).
Selain di bidang pindidikan, Gus Wahid juga rajin menulis di koran dan berpidato yang membuatnya aktif dan memiliki kedudukan strategis di beberapa organisasi islam. Seperti mendirikan IKPI (Ikatan Pelajar Islam) tahun 1936, pengurus NU ranting Tebuireng (1938), Liga Muslimin Indonesia (1952), dan akhirnya menjadi ketua umum PBNU.
Sementara, saat Jepang membentuk BPUPKI yang bertugas menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan, Gus Wahid menjadi salah satu bagian di dalamnya. Ia pun cukup berpengaruh dan menjadi satu dari sembilan anggota yang merumuskan rancang UUD 1945. Usulannya dalam menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta “..dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya.” berhasil mencapai keutuhan dan keberagaman bangsa. Ia ingin derajat semua orang terangkat dan tercapainya tujuan bersama. Usai dari itu, di awal kemerdekaan, ia berhasil duduk di kabinet sebagai menteri agama pertama di Indonesia pada era Soekarno. Hingga akhirnya lima kali menjadi menteri agama dan berakhir pada Kabinet Sukirman pada 1952, sekitar satu tahun sebelum ia meninggal dunia setelah kecelakaan mobil di Cimindi, Cimahi. Setelahnya pada 24 Agustus 1964 ia ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Melalui Gus Wahid kita dapat belajar bahwa keterbukaan akan hal baru membuat diri kita bisa menghargai perbedaan yang membawa banyak manfaat untuk semua golongan, berperilaku adil namun tetap bersikap rendah diri.
Cerita menarik lainnya soal pahlawan Indonesia bisa kalian temukan di seri biografis pahlawan nasional berbentuk seri komik terbitan esensi Erlangga Group. Bukunya yang ringan dapat membuat kita memahami lebih mudah nilai dan jiwa perjuangan para pahlawan. Gambak komik yang menyerupai tokohnya pun membuat buku ini memiliki visual yang kuat.
Sumber : superkidsindonesia.com