Salah Bicara, Bisa Rusak Mental Anak
“Budi, kamu bangun terlambat, cepat mandi! Habiskan makannya! Cepat dong kalau pakai sepatu! Ini sudah jam tujuh nanti kamu terlambat!
Kalimat di atas adalah sekelumit ocehan yang sering hadir di pagi hari. Biasanya, pihak yang paling sering mengomel adalah ibu-ibu. Dengan harapan, untuk bisa mengajarkan anak disiplin dan taat aturan.
Namun, tahukah Anda bahwa ternyata tindakan mengomel bisa mengakibatkan lemahnya konsep diri anak. Alih-alih bisa menjadi anak yang baik, justru bisa menyebabkan anak menjadi pendiam, melawan, menentang, tak peduli, atau sulit diajak kerjasama. Menurut penelitian, anak yang sering dimarahi atau mendapat omelan akan jatuh harga diri dan kepercayaan dirinya. Tidak hanya itu, kemampuan berpikirnya pun akan menjadi rendah. Endapan kemarahan yang membekas dalam benaknya, akan membuatnya sulit diajak bekerjasama.
Lalu, bagaimana cara yang tepat untuk berkomunikasi dengan anak?
Kenali Anak sebagai Individu yang Unik
Meski dilahirkan dari satu rahim, setiap anak pasti memiliki kelebihan dan kekurangan yang berbeda. Apalagi, dari rahim yang berbeda. Karenanya, setiap anak patut untuk diperlakukan secara khusus. Sangat kurang bijak rasanya jika orang tua terlalu menuntut anak, atau membanding-bandingkan anak, baik dengan saudaranya ataupun dengan anak lain.
Dalam hal berkomunikasi, sejatinya kita memang harus selalu menyesuaikan diri dengan lawan bicara. Berkomunikasi dengan anak tentu berbeda caranya dengan berkomunikasi ala orang dewasa. Ketika berbicara pada anak, usahakan tidak membentak dan tidak tergesa-gesa, karena hal tersebut sangat mempengaruhi terhadap daya cerna anak.
Kenali Bahasa Tubuh Anak
Kenali pula bahasa tubuh anak, karena bahasa tubuh merupakan satu-satunya ekspresi jujur yang bisa diungkapkan oleh anak. Anak bisa saja berkata suatu hal yang tidak sesuai dengan suasana hatinya, tapi dia tidak bisa berbohong melalui bahasa tubuhnya. Kemampuan memahami dan membaca ekspresi anak sangat patut untuk dimiliki oleh orang tua. Dengan memahami kondisi diri dan ekspresi anak, orangtua dapat mengetahui kondisi hati dan fisik anak.
Dengan memahami bahasa tubuh anak, orang tua juga bisa membaca bagaimana perasaannya. Apakah sedang senang, sedih, atau marah. Dengan memahami perasaan yang tengah menggelut dalam batin si anak, orangtua pun bisa merumuskan langkah lanjutan untuk menanganinya. Terutama jika ada hal buruk yang menimpanya, orangtua bisa segera menyelesaikannya.
Jadilah Pendengar Aktif bagi Anak
Berapapun usia anak, anak tetap butuh untuk didengarkan. Sayangnya, saat ini kian banyak orangtua yang tak mampu menjadi pendengar aktif bagi anaknya. Bahkan, seringkali ketika anak melakukan kesalahan atau tertimpa masalah, orangtua langsung menghujatinya dengan kemarahan. Misalnya “Makanya jadi anak tuh jangan nakal, jadi gini kan” atau yang lainnya.
Usahakan agar kita bisa meminimalisasi kebiasaan berkomunikasi dengan cara memerintah, menyalahkan, meremehkan, membandingkan, mencap atau memberi label negatif, mengancam, menghibur dengan kebohongan, mengkritik dan menghakimi anak. Kebiasaan-kebiasaan komunikasi tersebut memang seringkali tidak sengaja diterapkan oleh orang tua, namun sangat bisa merusak mental anak. Baik pesan ataupun cara berkomunikasi tersebut akan terekam dalam otak anak. Dan akan menurunkan aspek kepribadian dirinya.